Termasukdari do'a-do'a yang di ambil ataupun di tukil dari kaum ulama yang sudah jelas silsilah keilmuannya. Seperti dengan melakukan istigotsah ataupun melakukan aurod dari bacaaan-bacaan do'a yang terdapat pada istigotsah tersebut. KH Ahmad Rifa'iy Romli (wafat tahun 1994), beliau adalah menantu Kiai Mahrus Ali Lirboyo, KH A

Ridlo Ibu Adalah Segalanya Ketika Ny. Arthimah binti Sholeh diceraikan oleh KH. Dahlan Jampes, beliau pulang ke rumah bapaknya di Banjarmlati dalam keadaan hamil, yang ketika lahir dinamakan Marzuqi. Sehingga Marzuqi ini ikut ibunya sampai dewasa sementara kakaknya KH. Ihsan ikut abahnya. Ketika KH. Marzuqi diambil menantu KH. Abdul Karim Lirboyo, walaupun ikut mertua namun setiap hari mengunjungi ibunya. Sementara itu, KH. Ihsan yang sudah menjadi pengasuh pesantren Jampes jarang bisa berkunjung karena kesibukannya. Suatu saat, sang ibu mengutarakan kerinduannya dan ingin bertemu dengan KH. Ihsan, hal ini disampaikan oleh KH. Marzuqi kepada KH. Ihsan. Setelah lama ditunggu, ternyata KH. Ihsan belum datang sehingga sang ibu menggerutu, KH. Marzuqi berusaha menghibur dengan matur "Sekarang kan kang Ihsan jadi kyai besar dan santrinya banyak, mungkin saja belum ada kelonggaran waktu" sang Ibu dengan ghodhob berkata "Masio Ihsan Kyai gede santrine sak jagad iku ora metu teko kayu watu, tapi metu teko wetengku iki". KH. Marzuqi pun pamit ke Jampes untuk menjemput kakaknya dengan naik sepeda onthel. Setelah bertemu beliau mengutarakan perkataan sang ibu kepada kakaknya. Begitu mendengar, KH. Ihsan langsung meliburkan pengajiannya dan bergegas pergi ke rumah ibunya di Banjarmlati, begitu tiba di perempatan Bandar ± 1,5 km dr rumah Ibu beliau turun dari kendaraan dan berjalan kaki, dan begitu tiba di ujung gang menuju rumah, beliau berjalan sedokan berjalan ala abdi keraton sampai di depan pintu terus duduk bersimpuh dan mengucapkan salam dengan lirih, dan mengajukan permohonan maaf sambil menangis......
KHMahrsu Aly lahir di Dusun Gedongan, Kecamatan Astanajapura, Kabupaten Cirebon, Jawa Barat dari pasangan KH. Ali bin Abdul Aziz dan Hasinah binti Kyai Sa'id, tahun 1906 M. KH.Mahrus merupakan anak bungsu dari sembilan bersaudara. Pada masa kecil, ia dikenal dengan nama Rusydi dan lebih banyak tinggal di tanah kelahiran.
Ulama kharismatik pengasuh Pondok Pesantren Lirboyo, Kota Kediri salah satunya adalah KH Mahrus Aly. Selain seorang yang alim alamah, dikenal gigih berjuang di Nahdlatul Ulama NU, serta turut mempertahankan perjuangan setelah kemerdekaan. Banyak amanah yang diemban, selain pengasuh pesantren, tercatat hingga wafat sebagai Rektor Universitas Tribakti, Rais Pengurus Wilayah Nahdlatul Ulama Jawa Timur. Tercatat juga sebagai Mustasyar PBNU, Ketua Pusat Rabithah Ma’ahid Islamiyyah RMI, Penasihat Pangdam V Brawijaya dan seterusnya. Disarikan dalam Buku 3 Tokoh Lirboyo’ oleh Tim Sejarah BPK P2L Pondok Pesantren Lirboyo, cetakan kedua belas, KH Mahrus Aly dilahirkan dari ayah bernama KH Aly bin Abdul Aziz dan Hashinah binti Said pada 1906. Orang tua ibu Hashinah, KH Said, adalah pendiri dan pengasuh pondok yang alim alamah dengan sembilan anak. Terdiri dari lima anak putra dan empat anak putri dari pernikahan dengan Nyai Maimunah binti Mutta'ad. Mereka adalah Aminah, Nahrowi, Nafisah, Fathimah, Hasanah, Abdul Karim, Usman Sukainah dan Siroj. Dari pernikahan Kiai Said dengan Arminah yang lebih dikenal dengan Nyai Bunut, lahir dua orang putra lagi, Murtadlo dan Shofiyah. Ketika Hashinah, putri yang kelima sudah menginjak akil baligh, Kiai Said menjodohkannya dengan pemuda Aly, putra Kiai Abdul Aziz Pengasuh Pondok Pesantren Wotbogor, Singaraja, Indramayu. Pernikahan itu dilangsungkan sepulang Aly dari Tanah Suci setelah selama empat tahun berada di Mekkah menuntut ilmu. Di sana, dia ditemani oleh adiknya, Anwar, serta keponakannya, Agus bin Yusuf. Setelah resmi menjadi menantu Kiai Said, Kiai Aly ditempatkan di Gedongan untuk membantu di pesantren asuhan mertuanya. Dari pernikahan dengan Nyai Hanshinah, Kiai Aly dikaruniai sembilan anak terdiri dari enam putra dan tiga putri. Mereka adalah Muchtar, Ahmad Afifi, Harmalah Mulya, Muslihah, Ismatul Maula, Jalaludin, Yazid, Bilal dan terakhir Mahrus. Sosok Pemberani Rusydi, demikian nama kecil KH Mahrus Aly, lahir dan besar dalam lingkungan pesantren. Hidup di bawah bimbingan dan pengawasan orang alim. Inilah yang menyebabkan kepribadian Rusydi tumbuh sesuai harapan orang tua dan familinya. Yakni menjadi orang baik, berbudi luhur, dan berbakti kepada orang tua. Beberapa pondok pesantren yang telah disinggahi dalam menuntut ilmu, hingga akhirnya berlabuh di Pesantren Lirboyo Kediri oleh asuhan KH Abdul Karim. Selama di Lirboyo, Haji Mahrus terkenal santri yang tidak pernah letih dalam mengaji. Di waktu liburan, dia mencari pondok lain untuk mengikuti pengajian kilatan. Pernah ke Pondok Pesantren Tebuireng Jombang mengaji kitab Shahih Bukhari pada KH Hasyim Asy’ari. Setelah tiga tahun menimba ilmu di Lirboyo, karena kealiman dan kelebihan KH Mahrus muda membuat Mbah Manab nama lain KH Abdul Karim menjodohkan salah satu putrinya yang bernama Zaenab. Sejak kecil terkenal pemberani, sewaktu Mayor Mahfudh menghadap Kiai Mahrus di Lirboyo. Kepada beliau dikabarkan bahwa, Sekutu yang diboncengi Belanda hendak mendarat di Surabaya. Pasukan hendak kembali menjajah Indonesia yang sudah merdeka. Di seputar Tanjung Perak terjadi pertempuran sengit antara Arek-arek Surabaya melawan tentara Sekutu. Mendengar berita itu, spontan Kiai Mahrus berkata Kemerdekaan ini harus kita pertahankan sampai titik darah penghabisan. Beliau tegaskan pula bahwa santri Lirboyo siap membantu Arek-arek Surabaya yang mati-matian melawan Sekutu. Jauh sebelumnya, dirinya sudah mempersiapkan diri. Bersama para ulama yang terhimpun dalam jam'iyah NU mengeluarkan resolusi jihad, yaitu pada Konggres di Surabaya tanggal 21-25 Oktober 1945. Awalnya sejumlah 97 santri diberangkatkan ke Surabaya dengan bersenjatakan bambu runcing dan senjata tradisional. Mereka siap mati di medan laga di bawah komando langsung Kiai Mahrus. Mereka tergabung dalam laskar Hizbullah dan Sabilillah. Pasukan pertama in berhasil gemilang dengan merampas sejumlah senjata lawan. Dengan modal senjata rampasan inilah, rencana menjadi berkembang. Tiap sata peleton santri ditarik, satu peleton lagi dikirimkan. Hal ini berlanjut hingga pecah perang 10 November yang berakhir dengan terbunuhnya Jenderal Inggris, AWS Mallaby. Keikutsertaan Kiai Mahrus mempertahankan kemerdekaan Republik Indonesia kala itu tidak sebatas pada pengiriman santri ke medan laga. Lebih dari itu, Kiai Mahrus bersama para santri setiap malam mengadakan gerakan batin agar pasukan yang tengah bertempur diberi keteguhan iman. Kalau pun mesti gugur, diterima sebagai syahid. Kegiatan gerakan batin itu dipusatkan di dua tempat, yaitu di Pondok Lirboyo dan di Manukan, Jabon, Kediri. Yang di Lirboyo dipimpn KH Abdul Karim dan KH Marzugi Dahlan. Sedang, di Manukan dikomandoi KH Mahrus dan KH Said. Pasukannya dari santri yang akan dikirim ke Surabaya, Laskar Hizbullah dan Sabilillah. Perjuangan belum usai dalam mempertahankan kemerdekaan, ketika Belanda melancarkan Agresi Militer II pada tanggal 12 Desember 1948 beliau kembali mengerahkan santrinya untuk ikut di medan perang. Empat santri senior yang dikirim di bawah komando Mayor Mahfudh ialah Syafi’i Sulaiman, Muhid Ilyas, Muhammad Masykur, dan Mahfudh AK. Banyak menggunakan taktik gerilya dan sporadis berkali-kali menyerang tapi tidak dalam satu fron. Perjuangan berlangsung hingga penyerahan kedaulatan melalui perjanjian Konferensi Meja Bundar KMB di Deen Hag 27 Desember 1949. Batalyon 508 yang lebih dikenal dengan Batalyon Gelatik adalah embrio dari Kodam VII Brawijaya kini Kodam V resmi didirikan pada 17 Desember 1948 di Lapangan Kuwak sekarang Stadion Brawijaya bertindak sebagai komandan adalah Kolonel Sungkono. Sementara KH Mahrus Aly mendapat kehormatan sebagai penasihat. Inilah sebabnya KH Mahrus diakui sebagai sesepuh Kodam V Brawijaya sampai akhir hayat. Suami Setia Semenjak kemangkatan Nyai Zainab 4 Maret 1985, KH Mahrus sering jatuh sakit. Sebenarnya banyak yang menghendaki untuk beristri lagi agar ada yang merawat. Bahkan, tidak sedikit yang melamar dan bersedia mendampingi agar tidak terus-menerus larut dalam kedukaan. Namun, saran dan lamaran itu ditolak. Justru sering menyatakan ingin segera menyusul sang istri tercinta. Pernyataan itu disampaikan di hadapan sejumlah santri dalam kesempatan memberikan ijazah Hirzul Jausan di serambi masjid Pondok Lirboyo, 3 Sya'ban 1405 H / 22 April 1985. “Kalau saya diberi umur panjang oleh Allah, semoga saya selalu diberi kesehatan. Dan kalau tidak, saya mengharap dipanggil hari Senin. Sebab, Rasulullah dipanggil Allah SWT pada hari Senin. Begitu pula Kiai Abdul Karim dan istri,” ungkapnya. Kitab Hirzul Jausan baru kali itu diijazahkan kepada orang lain sejak diterima dari salah seorang gurunya, Syaikh Musthofa, Lasem, Rembang. Di sela-sela menyampaikan ijazah, selalu mengisahkan kebaikan sang istri. Ketika itu, seakan pamit hendak meninggalkan dunia fana. Kenyataan memang membuktikan, itulah kesempatan Kiai Mahrus bertatap muka dengan para santri untuk yang terakhir kali. Berkutat dengan Sakit Sudah lama Kiai Mahrus mengidap penyakit diabetes melitus kencing manis, paru-paru, dan ginjal. Berbagai penyakit itu berangsur sembuh setelah itu kambuh lagi. Pada Ahad malam, 12 Mei 1985, dirinya merasa tidak enak badan. Semula menduga hanya masuk angin. Namun, pada paruh malam, sakit itu dirasakan semakin parah. Keesokan harinya, salah seorang putrinya membawa ke dokter dengan tanpa mengira jika akhirnya harus merujuk ke RS Bhayangkara Kediri. Hal itu karena kondisi yang tidak juga membaik. Setelah empat hari opname di rumah sakit, Kiai Mahrus minta pulang walau sebenarnya tidak diperbolehkan dokter. Melihat kondisi yang semakin kritis, para dokter dan perawat berikut segala peralatan medis yang dibutuhkan didatangkan ke kediamannya di Lirboyo. Sebenarnya Kiai Mahrus berharap agar dapat dirawat di rumah saja. Tapi, Pangdam V Brawijaya, Saiful Sulun, meminta agar dirawat di Surabaya. Pangdam tentu tidak lupa mengingat jasa-jasa Kiai Mahrus di Kodam V Brawijaya. Juga mengingat fatwanya masih dibutuhkan dalam menjaga stabilitas pertahanan dan keamanan negara. Setelah mengadakan musyawarah, pihak keluarga menyetujui permintaan Pangdam tersebut. Sebab, Kiai Mahrus memang bukan hanya milik keluarga, tapi juga bermakna bagi masyarakat dan ABRI. Apalagi, ada keterangan dokter bahwa Kiai Mahrus kemungkinan bisa disembuhkan. Pada Sabtu sore 18 Mei 1985, Kiai Mahrus yang dalam keadaan koma dibawa ke Surabaya dengan Helikopter milik TNI AL yang dikirim atas perintah Pangab LB Moedani. Diantar oleh putra-putrinya dirujuk ke RSUD dr Soetomo. Tenaga medis yang menangani antara lain dr Khairuddin dari Juanda, dr Askandar Tjokroprawiro dari RSUD dr Soetomo, dr Suharjono Sujono, dr Karijadi Wijiatmoko Direktur RSUD dr Soetomo, dr Tommy dan seterusnya. Kiai Mahrus berencana membaca 6 buah kitab yang sudah diumumkan di serambi masjid Lirboyo. Antara lain, kitab Al Mahluf, Sulamul Munawwarah, Latha'iful Isyarah, Nashaihud Dinimiyyah, Dalailul Khairat, dan Hirzul Jausan. Menjelang Ramadan tiba, jatuh sakit dan harus dirawat di rumah sakit. Perawatan intensif dilakukan terus-menerus. Toh kondisinya tidak semakin membaik. Menurut dokter, kondisi yang paling baik terjadi pada Jumat, 24 Mei. Tapi, pada Jumat sore, keadaannya kembali kritis. Bahkan, lebih kritis dari sebelumnya. Sehingga, alat bantu pernapasan yang semula dipasang di hidung, di pindah ke tenggorokan. Menteri Agama mengucapkan terima kasih kepada Pangdam V Brawijaya atas segala bantuannya. Menteri Agama juga meminta kepada tim dokter untuk melakukan pertolongan maksimal. Tapi, sekitar dua jam setelah Menteri Agama meninggalkan rumah sakit, Kiai Mahrus berpulang ke rahamatullah. Innaa lillaahi wa innaa ilaihi raaji'un, akhirnya wafat tepat pada hari Ahad malam, 6 Ramadlan 1405 H / 26 Mei 1985, dalam usia 78 tahun, di rumah sakit dr. Soetomo, Surabaya setelah dirawat selama delapan hari. Berita wafatnya Kiai Mahrus diterima KH M Anwar Manshur menantunya di Lirboyo lewat telepon pada pukul WIB. Tiga puluh menit kemudian orang-orang yang melayat mulai berdatangan dari berbagai kalangan. Antara lain, Bupati Kediri Drs. Oesri Astradireja dari Muhammadiyyah yang secara resmi diwakili oleh H. S. Prodjokusumo Ketua PP Muhammadiyah yang hadir bersama Menteri Agama dan Ketua Umum PBNU KH Abdurrahman Wahid. Sedang, Pangab Moerdani hanya mengirimkan utusan karena berhalangan hadir. Begitu juga Gubernur Jatim, Wahono, yang tengah berada di Jepang. Tapi wakil Gubernur, Suparmanto, Kapolda Jatim, serta para Bupati dan Walikota berikut jajaran Muspida Tingkat II se-Jatim tampak hadir diantara ribuan pelayat. Bahkan, diantara mereka tampak juga orang-orang keturunan Tionghoa, orangorang bule, dan rohaniawan Kristen. Ratusan karangan bunga tanda ikut berduka cita memenuhi halaman kediaman beliau sehingga tidax semuanya bisa ditempatkan di pemakaman. Ada yang dari Presiden Soeharto, Wakil Presiden, Menteri menteri Kabinet Pembangunan IV, Ketua Mahkamah Agung, Panglima ABRI, Pemda Tingkat II se-Jatim, dan hampir semua direksi serta administrator perusahaan di Kediri. Karena terlalu membanjirnya para pelayat, jenazah baru dikebumikan pada pukul WIB. Secara khusus, Pangdam V Brawijaya Mayjen Saiful Sulun mengerahkan anak buahnya untuk ikut menertibkan prosesi pemakaman yang dibanjiri lautan manusia. Umat Islam, khususnya warga NU, betul-betul merasa kehilangan tokoh masyarakat yang menjadi panutan. Berbagai pihak menyatakan rasa bela sungkawa atas meninggalnya Kiai Mahrus. Pangdam V Brawijaya Saiful Sulun menyatakan bahwa dirinya dan ABRI umumnya merasa kehilangan sepeninggal beliau. Ulama kharismatik sekaliber Kiai Mahrus bukan saja bermanfaat bagi integritas kepemimpinan umat Islam, tapi juga sangat bermanfaat bagi stabilnya hankamnas yang menjadi tolok ukur. Kiai Mahrus wafat 87 hari setelah istri tercinta lebih dulu berpulang ke rahmatullah. Meninggalkan 7 orang putra-putri. Sedang, yang 7 lainnya juga sudah mendahului. Jenazah dimakamkan di pemakaman keluarga di belakang masjid Pondok Pesantren Lirboyo. Pembacaan talkin disampaikan oleh KH Adlan Ali, pengasuh Pondok Cukir, Jombang. Selesai pemakaman hujan turun deras, meski sedang kemarau panjang. Hujan pun seakan turut mengiringi ulama besar itu meninggalkan dunia fana, manghadap Sang Maha Abadi. Kiai mahrus telah pergi meninggal untuk selama-lamanya. Menggoreskan kenangan, menorehkan bakti, dan menaburkan jasa untuk terus diperjuangkan. Semoga Allah menempatkannya di taman Firdaus yang damai. Annallaha yarfa’u darajatan fil jannah, AlFatihah. KeluargaBeliau. Dalam rangka mengikuti sunnah Rasulullah, KH Anwar Mansur menikah dengan Ibu nyai Umi Kulsum putri Dari KH. Mahrus Ali. Dari hasil pernikahan tersebut, dikaruniai 8 orang anak yang terdiri dari 3 anak laki-laki dan 5 anak perempuan. Di tengah perjalanan rumah tangganya yang harmonis, KH Anwar Mansur ditinggal wafat oleh istri
KH. Mahrus Aly – KH. Mahrus Ali lahir di dusun Gedongan, kecamatan Astanajapura, Kabupaten Cirebon, Jawa Barat, dari pasangan KH Aly bin Abdul Aziz dan Hasinah binti Kyai Sa’id, tahun 1906 M. Beliau adalah anak bungsu dari sembilan bersaudara. Masa kecil beliau dikenal dengan nama Rusydi dan lebih banyak tinggal di tanah kelahiran. Sifat kepemimpinan beliau sudah nampak saat masih kecil. Sehari-hari beliau menuntut ilmu di surau pesantren milik keluarga. Beliau diasah oleh ayah sendiri, KH Aly dan sang kakak Kandung, Kyai Afifi. Saat berusia 18 tahun, beliau melanjutkan pencarian ilmu ke Pesantren Panggung, Tegal, Jawa Tengah, asuhan Kyai Mukhlas, kakak iparnya sendiri. Disinilah kegemaran belajar ilmu Nahwu KH. Mahrus Ali semakin teruji dan mumpuni. Selain itu KH. Mahrus Ali juga belajar silat pada Kyai Balya, ulama jawara pencak silat asal Tegal Gubug, Cirebon. Pada saat mondok di Tegal inilah KH. Mahrus Ali menunaikan ibadah haji pada tahun 1927 M. Ali menimba ilmu Pada pengasuh pondok pesantren kasingan,Hampir lima tahun menimba ilmu di Pondok Kasingan kemudian Ali minta Izin kepada gurunya untuk pulang kerumahnya . Ketika sampai dirumahnya di Gedongan Ali lagi lagi mendapat sambutan dari para santri dan keluarganya dengan penuh penghormatan . Mereka para santri kagum akan kecerdasan Kh Mahrus Ali dalam memahami Kitab Alfiyah . Rupanya Allah memberikan Futuh Pembuka hati & Ilmu berkat doa Munajat dan riyadhoh sang Ibu kepada dirinya. Semangat Mencari IlmuAndil dalam Pertempuran 10 Nopember 1945 Semangat Mencari Ilmu Tak puas dengan bekal ilmu yang dimiliki, Kh Mahrus Ali meminta izin kepada ibunya untuk menimba Imu di Pesantren Lirboyo, Tahun 1936 Kh Mahrus Ali belajar di Lirboyo di bawah asuhan karim . Melihat kecerdasan yang dimiliki Kh Mahrus Ali membuat gurunya terkagum kagum dan jatuh hati pada Ali, maka sang Guru meminta kepada Kh Mahrus Ali untuk mau menjadi mantunya. Maka tahun 1938 Ali menikah dengan putri gurunya bernama zainab. Kh. Mahrus Ali sangat mencintai ilmu maka tak heran Beliau selalu berpindah pindah dari pesantren yang satu kepesantren yang lain , hal ini beliau lakukan sekedar bertabarruk kepada para ulama seperti ke Pondok pesantren tebuireng asyari, Pondok-Pesantren Watu congol muntilan MagelangKh Dalhar pondok pesantren Langitan tuban dll. Andil dalam Pertempuran 10 Nopember 1945 Ali juga dikenal sebagai Ulama pejuang yang pemberani , beliau juga ikut serta Pada Pertempuran 10 Nopember 1945 melawan tentara sekutu di Surabaya. H. Mahfudz seorang Komandan Peta pembela tanah air yang mula-mula menyampaikan berita gembira tentang kemerdekaan Indonesia itu kepada KH. Mahrus Ali, lalu diumumkan kepada seluruh santri lirboyo dalam pertemuan diserambi masjid. Dalam pertemuan itu pula, para santri lirboyo diajak melucuti senjata Kompitai Dai Nippon yang bermarkas di Kediri markas itu kini dikenal dengan dengan Markas Brigif 16 Brawijaya Kodam Brawijaya . Tepat pada jam berangkatlah para santri Lirboyo sebanyak 440 menuju ke tempat sasaran dibawah komando KH. Mahrus Ali dan Mayor H Mahfudz. Sebelum penyerbuan dimulai, seorang santri yang bernama Syafi’I Sulaiman yang pada waktu itu berusia 15 tahun menyusup ke dalam markas Dai Nippon yang dijaga ketat. Maksud tindakan itu adalah untuk mempelajari dan menaksir kekuatan lawan. Setelah penyelidikan dirasa sudah cukup, Syafi’i segera melapor kepada KH. Mahrus Ali dan Mayor H Mahfudz. Saat-saat menegangkan itu berjalan hingga pukul dini hari dan berakhir ketika Mayor Mahfudz menerima kunci gudang senjata dari komandan Jepang yang sebelumnya telah diadakan diplomasi panjang lebar. Dalam penyerbuan itu , gema Takbir “Allohuakbar ” berkumandang menambah semangat juang para Santri , aroma Surga dan Mati syahid telah mereka rindukan, pada akhirnya penyerbuan itu sukses dengan gemilang. Selang beberapa lama, Mayor melapor kembali kepada Kyai Mahrus Ali di Lirboyo bahwa Tentara sekutu yang memboncengi Belanda hendak mendarat di surabaya,pasukan itu akan kembali menjajah Indonesia yang sudah merdeka. Mendengar itu Spontan Kyai Mahrus Aly mengatakan bahwa kemerdekaan harus kita pertahankan sampai titik darah penghabisan. Kemudian KH. Mahrus Ali mengintruksikan kepada santri lirboyo untuk berjihad kembali mengusir tentara Sekutu di Surabaya. Baca Juga Syaikh Yasin al-Fadani, Profil Singkat Maka dipilihlah santri-santri yang tangguh untuk dikirim ke Surabaya untuk bergabung dengan Mujahid lainya. Dengan gagah Ali berangkat bersama dengan para santri santri Lirboyo untuk berjuang merampas kembali kemerdekaan Indonesia. Ketika Belanda melancarkan Agresi militer kedua,Kyai Mahrus kembali menurunkan santrinya di medan pertempuran. Kyai yang terkenal dengan pasukan berani mati ini wafat Hari senin Tanggal 06 Ramadlan 1405 H atau 26 Mei 1985, dalam usia 78 tahun,dan dimakamkan di pemakaman keluarga di Lirboyo.
MahrusAli, sesepuh pengasuh pondok pesantren Lirboyo Kediri. Sedangkan ibunya putri KH. Muhammad Utsman al-Ishaqy, Surabaya, tokoh mursyid thoriqoh shufiyyah terbesar di Indonesia, Thoriqoh al Qodiriyyah wan Naqsabandiyyah. Jika ada pepatah mengatakan," Buah jatuh tidak jauh dari pohonnya ," maka bisa dibilang Gus Reza menuruni leluhurnya
KH. Mahrus Aly lahir di dusun Gedongan, kecamatan Astanajapura, Kabupaten Cirebon, Jawa Barat, dari pasangan KH Aly bin Abdul Aziz dan Hasinah binti Kyai Sa’id, tahun 1906 M. Beliau adalah anak bungsu dari sembilan bersaudara. Masa kecil beliau dikenal dengan nama Rusydi dan lebih banyak tinggal di tanah kelahiran. Sifat kepemimpinan beliau sudah nampak saat masih kecil. Sehari-hari beliau menuntut ilmu di surau pesantren milik keluarga. Beliau diasah oleh ayah sendiri, KH Aly dan sang kakak kandung, Kiai Afifi. Saat berusia 18 tahun, beliau melanjutkan pencarian ilmu ke Pesantren Panggung, Tegal, Jawa Tengah, asuhan Kiai Mukhlas, kakak iparnya sendiri. Disinilah kegemaran belajar ilmu Nahwu KH. Mahrus Aly semakin teruji dan mumpuni. Selain itu KH. Mahrus Aly juga belajar silat pada Kiai Balya, ulama jawara pencak silat asal Tegal Gubug, Cirebon. Pada saat mondok di Tegal inilah KH. Mahrus Aly menunaikan ibadah haji pada tahun 1927 M. Di tahun 1929 M, KH. Mahrus Aly melanjutkan ke Pesantren Kasingan, Rembang, Jawa Tengah asuhan KH. Kholil. Setelah 5 tahun menuntut ilmu di pesantren ini sekitar tahun 1936 M KH. Mahrus Aly berpindah menuntut ilmu di Pondok Pesantren Lirboyo, Kediri. Karena sudah punya bekal ilmu yang mumpuni KH. Mahrus Aly berniat tabarukan di Pesantren Lirboyo. Namun beliau malah diangkat menjadi Pengurus Pondok dan ikut membantu mengajar. Selama nyantri di Lirboyo, beliau dikenal sebagai santri yang tak pernah letih mengaji. Jika waktu libur tiba maka akan beliau gunakan untuk tabarukan dan mengaji di pesantren lain, seperti Pondok Pesantren Tebuireng Jombang, asuhan KH. Hasyim Asy’ari. Pondok Pesantren Watucongol, Muntilan, Magelang, asuhan Kiai Dalhar dan juga pondok pesantren di daerah lainnya seperti; Pesantren Langitan, Tuban, Pesantren Sarang dan Lasem, Rembang. KH. Mahrus Aly mondok di Lirboyo tidak lama, hanya sekitar tiga tahun. Namun karena alimnya kemudian KH. Abdul Karim menjodohkan dengan salah seorang putrinya yang bernama Zaenab, tahun 1938 M. Pada tahun 1944 M, KH. Abdul karim mengutus KH. Mahrus Aly untuk membangun kediaman di sebelah timur Komplek Pondok. Sepeninggal KH. Abdul Karim, KH. Mahrus Aly bersama KH. Marzuqi Dahlan meneruskan tambuk kepemimpinan Pondok Pesantren Lirboyo. Di bawah kepemimpinan mereka berdua, kemajuan pesat dicapai oleh Pondok Pesantren Lirboyo. Santri berduyun-duyun untuk menuntut ilmu dan mengharapkan barokah dari KH. Marzuqi dahlan dan KH. Mahrus Aly, bahkan ditangan KH. Mahrus Aly lah, pada tahun 1966 lahir sebuah perguruan tinggi yang bernama IAIT Institut Agama Islam Tribakti. KH. Mahrus Aly ikut berperan dalam memperjuangkan kemerdekaan dan ini nampak saat pengiriman 97 santri pilihan Pondok Pesantren Lirboyo, guna menumpas sekutu di Surabaya, peristiwa itu belakangan dikenal dengan perang 10 November. Hal ini juga yang menjadi embrio berdirinya Kodam V Brawijaya. Selain itu KH. Mahrus Aly juga berkiprah dalam penumpasan PKI di sekitar Kediri. KH. Mahrus Aly mempunyai andil besar dalam perkembangan Jamiyyah Nahdlatul Ulama, bahkan beliau diangkat menjadi Rois Syuriyah Jawa timur selama hampir 27 Tahun, hingga akhirnya diangkat menjadi anggota Mustasyar PBNU pada tahun 1985 M. Senin, 04 Maret 1985 M, sang istri tercinta, Nyai Hj. Zaenab berpulang ke Rahmatullah karena sakit Tumor kandungan yang telah lama diderita. Sejak saat itulah kesehatan KH. Mahrus Aly mulai terganggu, bahkan banyak yang tidak tega melihat KH. Mahrus Aly terus menerus larut dalam kedukaan. Banyak yang menyarankan agar KH. Mahrus Aly menikah lagi supaya ada yang mengurus beliau, namun dengan sopan beliau menolaknya. Hingga puncaknya yakni pada sabtu sore pada tanggal 18 Mei 1985 M, kesehatan beliau benar-benar terganggu, bahkan setelah opname selama 4 hari di RS Bhayangkara Kediri, beliau dirujuk ke RS Dr. Soetomo, Surabaya. Delapan hari setelah dirawat di Surabaya dan tepatnya pada Hari Ahad malam Senin Tanggal 06 Ramadlan 1405 H/ 26 Mei 1985 M, KH. Mahrus Aly berpulang ke rahmatullah. Beliau wafat diusia 78 tahun. al Fatihah… Kisah selengkapnya bisa Anda lihat di buku Tiga tokoh Lirboyo. 15
Padasuatu hari al-Syaikh berkata kepada al-Syadzili, "Wahai anakku, hendaknya Engkau senantiasa melanggengkan thaharah (mensucikan diri) dari syirik. Maka, setiap Engkau berhad
Mengenang Hari Kemerdekaan RI 9 Ramadhan dan Ulama Penggerak Laskar Hizbullah KH. Mahrus Aly 1907-1985 dikenal sebagai ulama besar yang berjasa besar dalam mengkader ulama lewat Pondok Pesantren Lirboyo, Kediri. KH. Basori Alwi 1927-2020 adalah Ulama yang masyhur dikenal sebagai Qori Internasional, Pendiri Jamiyyatul Qurro’ wal Huffadz dan Perintis Pesantren Ilmu Al-Qur’an PIQ Singosari, Malang. Kedua ulama di masanya dikenal sebagai ulama pejuang kemerdekaan Republik Indonesia dan keduanya terjalin erat hubungannya sebagai guru dan murid. Dikisahkan dalam Buku Biografi KH. Basori Alwi, Sang Guru Qur’an bahwa pada era pasca kemerdekaan Republik Indonesia, Almaghfurlah KH. Basori Alwi pernah bergabung Laskar Hizbullah. Beliau bergabung dari barisan santri yang dipimpin oleh KH. Zainal Arifin Pohan 1909-1963 dari Barus, Tapanuli Tengah. Singosari memang menjadi basis perjuangan mempertahankan kemerdekaan karena disana juga terdapat KH. Masykur 1904-1994 yang menjadi pimpinan Laskar Sabilillah. Pada Nopember 1945, Kyai Bashori Alwi yang lahir pada 15 April 1927 saat itu masih berusia 18 tahun. Beliau pernah mendapatkan perintah dari Mayor Mukhlas untuk melakukan pergerakan di daerah Sidoarjo dan Wonokromo. Saat ini beliau mendapati seorang mata-mata musuh musuh yang sedang mengintai pergerakan gerilyawan Hizbullah. Namun berkat kesergapan dari Kyai Basori Alwi dan kawan pejuang, musuh tersebut dapat dibunuh. Setelah kecamuk perang berakhir, Kyai Basori kembali ke Malang dan hidup dalam lingkungan kemiliteran. Meski begitu karena berlatar belakang santri beliau aktif mengisi pengajian di lingkungan Markas Kodam V Brawijaya di kawasan Rampal, Blimbing, Kota Malang. Sebelumnya Kyai Basori memang pernah belajar ke berbagai ulama di Singosari seperti kepada ayahandanya Kyai Alwi Murtadlo, Kyai Abdussalam, kakaknya, Kyai Dasuqi, Kyai Yasin Thoyib, Kyai Barmawi. Selain itu beliau memang nyantri di Pondok Pesantren Sidogiri, Pasuruan dibawah asuhan Kyai Nawawi bin Noerhasan. Di salah satu pesantren tertua di Indonesia beliau duduk sekelas dengan Kyai Hasani Nawawi, yang kelak akan menjadi ulama besar penerus perjuangan ayahandanya. Tak lama kemudian, atas saran dari kakaknya Kyai Abdus Salam yang berkata bahwa berjuang itu tidaklah harus dengan senjata, namun berjuang bisa lewat pena. Terkadang goresan mata pena lebih tajam dari sabetan perang. Maka Kyai Basori memilih mundur dari dunia militer. Beliau mundur begitu saja dan meski tidak tercatat dalam veteran pejuang kemerdekaan, namun jasanya terus dikenang. Solo menjadi tujuan pertama setelah Kyai Bashori berhenti jadi tentara. Disana beliau belajar di Madrasah Aliyah Diniyah di Desa Punggawan mengikuti jejak kakaknya tadi. Selama di Solo inilah beliau bertemu dengan KH. Dimyati al-Karim 1909-1982, seorang ulama pendiri Madrasah Salafiyah, Mangkunegaran, Surakarta yang banyak mempengaruhi kehidupannya. Guru inilah yang memberi wasiat yang kemudian menjadi pegangan yang disampaikan ke santri-santrinya sampai ajal menjemputnya pada hari Senin, 23 Maret 2020 silam. لِكُلِّ شَيْءٍ زَكَاةٌ وَزَكاَةُ الْعِلْمِ التَّعْلِيْمُ“Segala Sesuatu ada zakatnya dan zakatnya ilmu adalah mengajar” Sekitar tiga tahun lamanya Kyai Basori belajar di Solo. Selama itu beliau sempat belajar langsung kepada Syekh Mahmud Ayyub Al-Ayyubi dari Irak dan Sayyid Abdurrahman bin Shahab Al-Habsyi. Dari Solo beliau sempat ke Jogjakarta kemudian kembali ke Malang. Sesampai di Malang ternyata keluarga mengungsi ke Kediri karena kondisi darurat perang. Kyai Basori Alwi pun kembali ke barak, bergabung dengan Laskar Gerilyawan Hizbullah Singosari yang saat itu dikomandani oleh Hasbullah. Serbuan Sekutu yang sudah mencapai Singosari inilah yang mungkin menjadi penyebab wafatnya KH. Hasyim Asy’ari setelah terkejut mendengar kabar ini. Dikutip dari laman pada 25 Juli 1947 atau 7 Ramadhan 1366 H, di kediaman Hadratus Syekh KH Hasyim Asy’ari, Tebuireng Jombang, datang dua utusan Panglima Besar Jenderal Soedirman dan Bung Tomo. Salah seorang utusan itu bernama Kiai Gufron, pemimpin Sabilillah Surabaya. Keduanya mengabarkan situasi bangsa selepas Agresi Militer Belanda I 21 Juli 1947. “Jenderal Spoor sudah merebut Singosari, Malang,” ujar perwakilan itu. Rais Akbar Nahdlatul Ulama itu kaget luar biasa. Jatuhnya kota perjuangan, pusat markas tertinggi Sabilillah, badan kelaskaran rakyat yang dipimpin KH Masykur itu, sangat mengejutkannya. “Masya Allah, masya Allah!” pekiknya. Lalu ia memegang dan menekan kepalanya kuat-kuat. Keterkejutan yang hebat ini membuatnya pingsan. Mendengar kabar itu, KH Hasyim Asy’ari mengalami pendarahan otak. Dokter Angka yang didatangkan dari Jombang, tidak bisa berbuat apa-apa karena keadaannya sangat parah sekali. Dan Kyai Hasyim pun berpulang ke Rahmatullah pada usia 76 tahun. Karena kondisi Singosari yang serba darurat itulah yang membuat Kyai Basori menyusul keluarganya di Kediri. Dalam pengungsian inilah beliau bertemu dengan Kyai Masykur yang juga berasal dari Singosari. Kelak lewat peran KH. Masykur khususnya saat beliau menjabat sebagai Menteri Agama inilah karir Kyai Basori akan mendunia. Setelah konflik telah mereda, Kyai Masykur akan mengajak Kyai Basori akan diajak ke Jogjakarta yang saat itu sempat menjadi Ibu Kota Republik Indonesia. Di Jogjakarta inilah KH. Basori akan mengaji dengan KH. Abdullah bin Nuh 1905-1987 yang juga dikenal sebagai ulama pejuang dari Cianjur yang tercatat sebagai Daidancho setingkat Komandan Batalyon sekarang pada zaman Jepang. Di Kota Kediri ini jugalah, Kyai Basori Alwi menyempatkan mengaji kepada sosok ulama yang alim allamah dan juga pejuang kemerdekaan, yakni KH. Mahrus Ali, Pengasuh Pondok Pesantren Lirboyo. Memang tak ada catatan resmi tentang berapa lama Kyai Basori belajar dengan Ulama asal Gedongan, Cirebon. Namun penulis meyakini beliau masih sempat belajar langsung ke KH. Abdul Karim 1856-1954, mertua Kyai Mahrus sekaligus Pendiri Pondok Pesantren Lirboyo Kediri. “Lirboyo memang banyak menjadi pilihan pengungsian para kyai, termasuk keluarga KH. Bisri Mustofa Rembang yang mengungsi ke Lirboyo. Hal ini karena Lirboyo menjadi tempat yang cukup aman dari serangan Agresi Militer Belanda” ungkap Agus H. Ibrahim Hafidz saat penulis di Kantor Bhakti Pondok Pesantren Lirboyo, 2/5 Dalam Buku Pesantren Lirboyo, Sejarah, Peristiwa, Fenomena dan Legenda, KH. Mahrus Ali pada era pra-kemerdekaan telah aktif berjuang. Di era zaman Jepang, beliau sempat menjadi anggota Kamikaze tentara berani mati. Hal ini dilakukannya untuk menimba ilmu dari penjajah yang di kemudian hari digunakan untuk melawan Jepang . Saat Jepang mengadakan latihan militer di Cibarusa Bekasi atas permintaan Residen Kediri R. Abdul Rahim Pratalikrama, KH Mahrus mengurus santri-santrinya seperti Thohir Wijaya Blitar, Agus Masrur Lasem, Mahfudz Jogjakarta, Ridlwan Anwar Kediri untuk bergabung. Sepulang dari Cibarusa, keempat santri tersebut segera menyampaikan kepada santri tentang teknik perang yang telah mereka pelajari sebelumnya. Maka pada tahun 1943-1944, latihan kemiliteran diadakan di Pondok Pesantren Lirboyo. Di saat bersamaan juga telah terbentuk barisan Hizbullah yang dipimpin oleh KH. Zainal Arifin dari Barus, Tapanuli Tengah, Sumatera Utara. Jum’at, 17 Agustus 1945, Mayor Abdur Rahim Pratalikama, Residen Kediri sekaligus Syudancho Kediri kembali datang ke Lirboyo untuk mengabarkan proklamasi Kemerdekaan Indonesia telah dilaksanakan di Jakarta. Mendengar kabar itu, KH. Mahrus segera mengambil tindakan dengan merencanakan pelucutan senjata tentara Dai Nippon di Kediri. Seluruh santri Lirboyo dikumpulkan di serambi Masjid Lawang Songo untuk bersiap kembali melakukan perlawanan. Setelah melalui persiapan yang matang di bawah komando langsung KH. Mahrus Ali dan Mayor Mahfudz berangkatlah 440 santri di hari yang sama pada pukul Dengan semangat jihad dan siap mati syahid yang menggelora, mereka bergerak menuju markas Kempetai Satuan Polisi Jepang yang berpusat di Jalan Brawijaya Kota Kediri. Tepat pukul hari, dengan berbekal senjata seadanya santri mengadakan serangan besar-besar mengepung markas tersebut. Maka pun tentara Jepang yang memiliki senjata yang lebih lengkap dan modern akhirnya menyerah tanpa syarat sebelum mereka berjibaku dengan para santri. Kemudian senjata tersebut dirampas dan dibawa ke pondok. Selanjutnya senjata rampasan perang yang mencapai satu truk tersebut diserahkan kepada Tentara Keamanan Rakyat TKR yang sampai kini tersimpan di Markas Kodam V Brawijaya Kediri. Dalam perang 10 Nopember 1945 di Surabaya, Kyai Mahrus yang sempat menyantri di Tebuireng ini ikut serta menjalankan amanah gurunya Hadratus Syekh KH. Hasyim Asy’ari yang tertuang dalam Resolusi Jihad yang dicetuskan pada 22 Oktober 1945 untuk mempertahankan Indonesia sampai darah penghabisan. Maka dengan spirit Resolusi Jihad itulah, bersama ratusan santrinya Kyai Mahrus berjuang melawan Sekutu yang membonceng Belanda yang berhasrat untuk kembali menguasai Indonesia yang belum lama merdeka ini. Dikutip dari Buku 3 Tokoh Lirboyo, hampir semua masyayikh Lirboyo seperti KH. Abdul Karim, KH. Marzuqi Dahlan, termasuk KH. Mahrus Ali adalah santri Tebuireng yang diasuh langsung oleh KH. Hasyim Asy’ari. Bahkan Mbah Manab Sapaan Akrab KH. Abdul Karim adalah kawan KH. Hasyim Asy’ari saat keduanya belajar di Pesantren Demangan dibawah asuhan Syaikhona Kholil Bangkalan. Secara usia, Mbah Manab lahir 1858 lebih tua 13 tahun dari Kyai Hasyim lahir 1871. Berkat kedekatan inilah, di kemudian hari Mbah Manab akan dijodohkan dengan putri dari sahabat Kyai Hasyim, yakni Kyai Soleh Banjarmlati Kediri. Kelak dari pernikahan Mbah Manab dan Nyai Dlomroh binti Soleh, akan melahirkan beberapa keturunan salah satunya Nyai Zainab yang akan dinikahkan dengan Kyai Mahrus Aly. Perjuangan KH. Mahrus Aly agaknya juga dipengaruhi oleh sosok mertua sekaligus gurunya KH. Abdul Karim yang berasal dari Magelang. Zainul Milal Bizawie dalam Jejaring Ulama Diponegoro mengungkap bahwa leluhur Mbah Manah terkoneksi dengan para pasukan Diponegoro, bahkan beliau juga terinspirasi perjuangan Kyai Rofi’i Guru Loning Bagelen dan Kyai Hasan Besar Banyumas. Meski Mbah Manab tidak terjun langsung di medan perang karena sudah sangat sepuh, namun bersama santri Lirboyo beliau melakukan riyadhoh agar pejuang diberikan kemenangan dalam perang mempertahankan kemerdekaan Republik Indonesia ini. Saat itu Gerakan batin dipusatkan di dua tempat yakni di Pondok Lirboyo dan Manukan Jabon Kediri. Di Lirboyo santri dipimpin oleh KH. Abdul Karim dan menantu sekaligus keponakannya KH. Marzuqi Dahlan. Sementara itu di Manukan, gerak batin dipimpin langsung oleh KH. Mahrus dan KH. Said. Jama’ahnya adalah para santri beserta Laskar Hizbullah dan Sabilillah yang akan dikirim ke Surabaya. Perjuangan tak lantas berhenti, ketika Belanda kembali melancarakan Agresi Militer II pada 12 Desember 1948, Kyai Mahrus juga mengerahkan para santri ke medan perjuangan. Adalah Syafii Sulaiman, Muhid Ilyas, Muhammad Masykur dan Mahfudz yang menjadi delegasi Pondok Pesantren Lirboyo yang bergabung dalam Bataliyon 508 untuk bertempur melawan Belanda . Dalam perang ini mereka banyak menggunakan taktik perang gerilya dan sporadis. Perjuangan ini terus berlangsung sampai diselenggarakannya Konferensi Meja Bundar KMB di Den Haag, Belanda pada tanggal 27 Desember 1949. Setelah stabilitas keamanan negara, berangsur pulih. Para santri Lirboyo kembali pesantren untuk mengaji. Kelak Batalyon 508 atau yang dikenal dengan Gelatik yang beranggotakan Santri Lirboyo ini menjadi embrio Komando Daerah Militer Kodam V Brawijaya. Sampai akhir hayatnya, KH. Mahrus Aly pada tahun 1985 tercatat sebagai Penasehat sekaligus sesepuh Kodam V Brawijaya. Hampir seluruh Panglima di Kodam V Brawijaya menaruh hormat pada beliau. Dan hubungan baik ini berlanjut sampai kepada keturunan Kyai Mahrus. “Salah satu wasiat KH. Mahrus kepada putra-putrinya, adalah meminta mereka untuk terus menjalin silaturahmi dengan Kodam V Brawijaya sepeninggal beliau” ujar Agus H. Ahmad Kafabihi, cucu KH. Mahrus Ali saat penulis temui di Asrama HMQ Lirboyo, Sabtu 2/5. Dan pada hari ini, Rabu, 29 April 2020 6 Ramadhan 1441 H adalah peringatan 35 tahun wafatnya KH. Mahrus Aly. Esoknya adalah peringatan haul ke-75 meninggalnya Hadratus Syekh KH. Hasyim Asy’ari dan menyusul peringatan 40 hari berpulangnya muridnya, KH. Basori Alwi ke Rahmatullah pada hari Jum’at, 1 Mei 2020. Semoga segala amal jariyah para guru mulia dan segenap ulama pejuang diterima disisi-Nya. Dan semoga kita mampu melanjutkan estafet perjuangan mereka dalam mengisi kemerdekaan Republik Indonesia yang lahir dari tetesan darah para pejuang dan ulama dengan sebaik-baiknya. Teringat wasiat Almaghfurlahu KH. Mahrus Ali yang disampaikan kepada santri-santrinya pada pengajian Romadhon pada tahun 1975 silam di Pondok Pesantren Lirboyo “Aku mbiyen ora muluk muluk pengen dadi wong terhormat dadi wong sugih koyo sing mbok delok sak iki Tapi aku wedi nek aku dadi wong goblok terus wedi dadi wong mlarat. Mulakno aku sregep ngaji sregep kerjo terus dadine aku koyo sing mbok delok sak iki Lha nek santri umuh ngaji, lumuh sinau, lumuh kerjo tapi pengene mbesok dadi wong terhormat tur sugih iku jenenge طول الامل atau pikiran muluk muluk” Artinya“Saya dulu tidak berambisi ingin jadi orang terhormat, jadi orang kaya sebagaimana yang kalian lihat sekarang. Namun saya takut jadi orang yang bodoh kemudian takut jadi orang miskin, maka saya pun rajin mengaji dan bekerja dan jadinya yang seperti yang anda saksikan hari ini. Jika santri malas mengaji malas belajar, malas kerja namun berharap kelak menjadi orang terhormat dan kaya itu namanya panjang angan-angan” Lirboyo, 6 Ramadhan 2020*Catatan ini kami susun dalam rangka Peringatan Hari Kemerdekaan Republik Indonesia ke 77 9 Ramadhan 1364 H – 9 Ramadhan 1441 H, Haul ke-75 KH. Hasyim Asy’ari 7 Ramadhan Haul Ke-35 6 Ramadhan KH. Mahrus Ali dan Peringatan 40 Hari Wafatnya KH. Basori Alwi Murtadlo 8 Ramadhan
SehinggaAbah Dim pun beberapa saat kemudian meninggalkan Ponpes Lirboyo. Setelah bertahun-tahun mengembara mencari ilmu di tempat lain, akhirnya Abah Dim datang lagi ke Lirboyo di usia 31 tahun untuk sowan dan meminta Kyai Machrus Ali yang meng-akadkan pernikahannya dengan putri KH. Ibadullah Irfan.

AbdullahKafabihi Mahrus (murabbi penulis);KH. Mahrus 'Ali Lirboyo;Syaikh Yasin Padang. Berangkat dari pertemuan mata rantai inilah, jejaring dan jejak ulama Nusantara di Timur Tengah serta pengaruhnya di Tanah Air menjadi menarik untuk dianalisa dan dikaji lebih jauh.

DvEGER.
  • 3crnhpqwn6.pages.dev/107
  • 3crnhpqwn6.pages.dev/114
  • 3crnhpqwn6.pages.dev/300
  • 3crnhpqwn6.pages.dev/385
  • 3crnhpqwn6.pages.dev/276
  • 3crnhpqwn6.pages.dev/114
  • 3crnhpqwn6.pages.dev/1
  • 3crnhpqwn6.pages.dev/351
  • 3crnhpqwn6.pages.dev/129
  • silsilah kh mahrus ali lirboyo